GpG8BSClGpG6TfroGpC8GSM9Gi==

Investigasi: Raja Dolomit Nusantara Ungkap Mafia Pabrik Ilegal di Gresik, Potensi Triliunan Rupiah Terancam

Infografis Mafia Dolomit Vs Potensi Ekonomi Nasional Triliunan Rupiah Yang Terancam
KUTIPANTAU – Di balik gemerlap bisnis mineral strategis dolomit, tersimpan praktik curang yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Fakta ini terkuak setelah pengusaha asal Situbondo yang dijuluki Raja Dolomit Nusantara, HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy atau Jih Lilur, melakukan inspeksi mendadak ke Kecamatan Panceng, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Selasa (26/08/2025).

Kunjungan ini awalnya hanya bertujuan meninjau tiga konsesi tambang miliknya dan tiga lokasi calon pabrik. Namun, temuan di lapangan justru membuka tabir besar yang selama ini tertutup.

"Kami mendapati fakta mencengangkan: deposit dolomit di wilayah ini mencapai ratusan juta ton, dengan kedalaman rata-rata 50 meter. Tetapi, ada yang lebih mengejutkan—12 pabrik dolomit ilegal berdiri kokoh dan berjalan tanpa izin, menggunakan bahan baku dari tambang ilegal,” ungkap H. Lilur kepada wartawan, Rabu (27/08/2025).

Menurutnya, praktik ilegal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. “Mereka beroperasi seolah-olah legal, padahal tidak punya tambang sendiri. Ironisnya, pasar mereka adalah Kementerian Pertanian dan jutaan hektare perkebunan sawit. Artinya, suplai dolomit ilegal ini masuk langsung ke rantai pasok nasional,” bebernya.
Raja Dolomit Nusantara HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy atau akrab disapa H Lilur bersama Tim saat melakukan survei potensi dan investigasi terkait tambang Dolomit ilegal di Gresik
Dalam investigasi H Lilur bersama timnya, ditemukan bahwa dolomit menjadi bahan penting untuk pertanian, perkebunan, dan industri strategis. Harga jualnya di pasar mencapai Rp600 ribu per ton, sementara biaya produksi sekitar Rp250 ribu. Margin bersih Rp350 ribu per ton membuat dolomit jadi incaran para pemain besar—dan juga mafia. Dengan estimasi kebutuhan jutaan ton per tahun, potensi keuntungan bisnis ini bisa mencapai triliunan rupiah.

"Kalau satu pabrik besar memproduksi 1 juta ton per bulan, omzetnya Rp600 miliar per bulan. Ini lebih dahsyat daripada batubara, yang marginnya hanya Rp50 ribu sampai Rp100 ribu per ton. Tetapi yang terjadi, pabrik ilegal justru mendominasi pasar,” tegas H. Lilur.

Pria yang juga pemilik 17 blok tambang dolomit di Gresik dan Lamongan ini menuding lemahnya pengawasan sebagai akar masalah. “Kementerian Pertanian harus introspeksi. Bagaimana bisa suplai untuk program nasional diserahkan ke pabrik ilegal? Ini sudah jadi sindikat besar. Mafia dolomit bermain rapi dengan dukungan jaringan yang kuat,” ujarnya.

H. Lilur mendesak aparat penegak hukum bergerak cepat. “Saya minta Polri, Kejaksaan, dan KPK turun tangan. Jangan biarkan sumber daya alam kita jadi bancakan para mafia. Kalau semua ilegal ini diberantas, Indonesia punya saya sebagai satu-satunya pemilik tambang dolomit legal yang siap memenuhi kebutuhan nasional secara transparan,” katanya dengan nada tegas.

Lebih jauh, ia menyoroti indikasi keterlibatan oknum yang sengaja menutup mata. “Kalau sampai praktik ilegal ini bisa bertahan puluhan tahun, berarti ada pembiaran. Ini bukan sekadar masalah bisnis, ini sudah merugikan negara dan petani kecil,” ujarnya lagi.

Dalam penelusuran H Lilur bersama Tim, ditemukan bahwa suplai ilegal ini tidak hanya menguasai pasar pertanian, tetapi juga masuk ke proyek-proyek pemerintah. H. Lilur menyebut kondisi ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap tata kelola sumber daya mineral.

"Negeri ini kaya, tapi rakyatnya miskin karena dibiarkan dikuasai mafia. Dolomit bisa jadi komoditas penyelamat ekonomi, tapi selama mafia dibiarkan, negara rugi triliunan,” katanya.

H. Lilur menutup pernyataannya dengan doa sekaligus tantangan. Bahkan ia menyatakan siap mengelola dolomit secara legal dan profesional.

"Tinggal tunggu keberanian negara untuk memberantas mafia tambang. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Jangan sampai keadilan sosial cuma slogan,” pungkas Raja Dolomit Nusantara HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy.

0Komentar